Perbedaan Tanda Tangan Digital dan Elektronik dalam Perspektif Hukum

Dalam era transformasi digital, penggunaan tanda tangan elektronik dan tanda tangan digital semakin marak sebagai alat autentikasi dalam transaksi elektronik. Meskipun keduanya sering dianggap serupa, terdapat perbedaan mendasar yang signifikan dari sudut pandang hukum dan teknis yang perlu dipahami, khususnya dalam konteks kepastian hukum dan keabsahan dokumen.

Tanda tangan elektronik (electronic signature), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, didefinisikan sebagai tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terkait, atau diasosiasikan dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Tanda tangan elektronik bersifat lebih umum dan dapat mencakup berbagai bentuk, seperti gambar tanda tangan yang dipindai, tanda tangan berbasis aplikasi, atau bahkan ketukan sederhana pada layar sentuh, sepanjang memenuhi fungsi identifikasi pihak yang menandatangani dan menunjukkan persetujuan atas isi dokumen. Contoh tanda tangan eletronik yang paling banyak ditemui adalah tanda tangan dengan menggunakan stylus atau hasil pindai (scan) dari tanda tangan goresan tangan.

Sebaliknya, tanda tangan digital (digital signature) merupakan subset dari tanda tangan elektronik yang memiliki karakteristik teknis dan hukum yang lebih spesifik. Tanda tangan digital menggunakan teknologi kriptografi asimetris, yakni kombinasi kunci publik dan kunci privat, yang dihasilkan melalui sertifikat digital yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) yang terdaftar. Dalam sistem ini, integritas dokumen tersebut terjamin melalui proses enkripsi, sehingga setiap perubahan pasca-penandatanganan dapat terdeteksi.

Di Indonesia, tanda tangan digital yang tersertifikasi memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dan diakui setara dengan tanda tangan basah berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU ITE, sepanjang memenuhi syarat keandalan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dari sisi pembuktian, tanda tangan elektronik yang tidak menggunakan sertifikat digital dapat diterima sebagai alat bukti yang sah, namun keabsahannya bergantung pada pembuktian tambahan di pengadilan, seperti kesesuaian identitas penandatangan dan integritas dokumen. Sementara itu, tanda tangan digital yang tersertifikasi memiliki presumption of validity (dugaan sah), sehingga mengurangi potensi sengketa terkait keaslian dan keutuhan dokumen.

Secara praktis, tanda tangan elektronik lebih fleksibel dan mudah digunakan untuk keperluan sehari-hari, namun kurang memberikan jaminan keamanan tingkat tinggi. Sebaliknya, tanda tangan digital, dengan infrastruktur teknologi dan pengakuan hukum yang lebih kokoh, menjadi pilihan utama dalam transaksi yang memerlukan kepastian hukum maksimal, seperti perjanjian bisnis, akta otentik, atau dokumen resmi pemerintahan.

Kesimpulannya, pemilihan antara tanda tangan elektronik dan tanda tangan digital harus didasarkan pada kebutuhan spesifik transaksi, tingkat risiko, serta konsekuensi hukum yang diinginkan. Dalam praktik hukum, memahami perbedaan ini menjadi aspek krusial dalam memastikan kepastian hukum dan pelindungan bagi para pihak yang terlibat.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *